aris bangil menyediakan doamin,hosting, web design, web development, toko online dan networking.

Panggung Sejarah

Walaupun termasuk kota kecil, Bangil ternyata memiliki catatan sejarah panjang yang mengagumkan. Simak saja tulisan Benny G. Setiono dibawah ini yang disadur dari inti.or.id mengenai Pasang Surut Hubungan Tionghoa-Islam Dalam Panggung Sejarah Indonesia.

( Disampaikan dalam Seminar “Kontribusi Tionghoa Dalam Penyebaran Islam di Indonesia, yang dilaksanakan pada tanggal 19 Maret 2005 di Aula Kantor DPP Golkar Jl Anggrek Nelly Murni, Slipi- Jakarta Barat ).

Awal kedatangan orang Tionghoa.
Keberadaan orang-orang Tionghoa yang pertama kali di Nusantara sebenarnya tidak jelas. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari dan Kalimatan Barat maupun yang disimpan di berbagai kraton dan genderang (genta) perunggu Dongson di Jawa, Bali dan dataran Pasemah, Sumatera Selatan.

Fa Hian seorang pendeta dari Tiongkok mengunjungi pulau Jawa dalam perjalanannya ke India antara tahun 399 sampai 414.. Pengalamannya di tulis dalam buku Fahuek,seratus tahun kemudiani Sun Yun dan Hwui Ning mengikutinya dengan melakukan ziarah dari Tiongkok ke India.

Pada tahun 671 Pendeta I-tsing berangkat dari Canton ke Nalanda melalui Sriwijaya. Seluruh pengalamannya diuraikan dengan cermat dalam bukunya Nan Hai Chi Kuei Fa Ch’uan dan Ta T’ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch’uan. Pendeta I Tsing mengembara di luar Tiongkok selama 25 tahun. Ia kembali ke Kwangtung pada pertengahan musim panas pemerintahan Cheng Heng (tahun 695) dengan membawa pulang 4.000 naskah yang terdiri dari lima ratus ribu sloka. Dari tahun 700 sampai 712 ia menterjemahkan 56 buku dalam 230 julid. Hingga abad ke VII hanya pendeta Buddha Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India yang mengunjungi Sriwijaya.




Menurut catatan yang ada, orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia pada abad ke IX yaitu pada zaman dinasti Tang untuk berdagang dengan membawa barang-barang kerajinan seperti barang-barang porselen, sutera, teh, alat-alat pertukangan, pertanian dsbnya untuk ditukar dengan hasil-hasil pertanian terutama rempah-rempah, sarang burung walet,gambir, bahan obat-obatan dsbnya. Mereka yang sebelumnya hanya menunggu pedagang-pedagang asing yang datang ke Canton dengan menggunakan kapal-kapal Persia kemudian tertarik untuk melakukan perdagangn sendiri ke negara-negara Laut Selatan (Nanyang).
Mereka datang dengan jung-jung melalui perjalanan panjang menghadapi gelombang laut dan perompak yang ganas. Mereka harus tinggal berbulan-bulan menunggu bergantinya musim dan angin yang akan membawa mereka kembali ke daratan Tiongkok. Sudah tentu yang datang ketika itu hanya laki-laki saja karena perjalanan tersebut sangat berbahaya. Emigrasi secara besar-besaran termasuk perempuan-perempuan Tiongkok baru dimulai pada pertengahan abad ke XIX dan permulaan abad ke XX bertalian dengan berkembangnya fasilitas kapal motor dan dicabutnya larangan bepergian ke luar Tiongkok oleh Kaisar dinasti Ching.Karena tertarik akan keindahan dan kesuburan daerah-daerah yang mereka kunjungi dan keramahan penduduk setempat, sebagian dari mereka menetap dan mengawini perempuan-perempuan setempat. Mereka pada umumnya menjadi petani, tukang dan pedagang pengumpul hasil-hasil pertanian dan hasil hutan untuk di tukar dengan barang-barang dari daratan Tiongkok. Akhirnya mereka beranak pinak dan membaur dengan penduduk setempat dan saling mempengaruhi dalam proses percampuran budaya, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan lainnya termasuk dalam hal bahasa, kesenian, makanan, dsbnya.

Pada tahun 1293 Kaisar Kubilai Khan dari Dinasti Yuan (Mongol, 1280-1367) mengirim pasukannya untuk memberi pelajaran kepada Raja Kertanegara dari Singosari yang telah menghinanya dengan merusak muka utusannya, Meng Chi. Ia mengirim pasukannya yang besar yang terdiri dari 20.000 orang tentara Tionghoa yang direkrut dari Hokkian, Kiangsi dan Hukuang. Namun ketika pasukannya yang dipimpin Shih-pi, Kau Hsing dan Ike Mese tiba di Tuban kemudian memasuki kali Sedayu dan kali Mas, mereka berhasil dibujuk dan dikelabui oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara untuk membantunya menggulingkan Raja Jayakatwang dari Kediri. Setelah Kerajaan Kediri berhasil dikalahkan, Raden Wijaya kemudian mengusir pasukan Kubilai Khan keluar dari Jawa dan mendirikan Kerajaan Majapahit dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama,

Ribuan anggota pasukan Mongol tewas di pulau Jawa dan banyak yang ditawan atau tinggal dengan sukarela untuk menghindari pelayaran kembali ke daratan Tiongkok yang keras dan berbahaya, dan hukuman yang menantinya karena kegagalan misi mereka. Masa ini bukan saja pertanda dimulainya dinasti Majapahit tetapi juga pengalihan teknologi Tiongkok secara besar-besaran. Terutama teknologi pembuatan kapal, senjata api (mesiu) dan uang.

Orang-orang Tionghoa yang tertinggal setelah invasi pasukan Mongol yang gagal tersebut untuk waktu yang lama memainkan peranan penting dalam memajukan perdagangan. Pulau Jawa maju pesat sebagai kekuatan maritim di Nusantara dan hampir dapat dipastikan mengandalkan kekuatan gabungan di bawah komando Kerajaan Majapahit yang telah menguasai pelaut, nahkoda dan pemilik kapal yang hafal akan rute-rute pelayaran di Asia Tenggara. Dalam buku surat kepada puterinya Indira Gandhi, Glimpses of World history, Jawharlal Nehru mengatakan : “Sesungguhnya ekspedisi Tiongkok akhirnya menjadikan Jawa atau kemaharajaan Majapahit lebih kuat.Ini disebabkan oleh karena orang Tionghoa mendatangkan senjata api ke Jawa, dan agaknya dengan senjata api inilah datang kemenangan berturut-turut kepada Majapahit “.

Orang-orang Tionghoa ini yang mengawini perempuan-perempuan setempat dan beranak pinak, kemudian disebut peranakan. Merekalah yang mengajari penduduk setempat cara-cara membuat bata, genting dan teknologi pertanian serta membawa bibit-bibit palawija. Mereka mengembangkan budi daya tanaman kacang tanah,kacang hijau, kacang kedelai, semangka dan nila atau tarum untuk dijadikan bahan pewarna. Demikian juga mereka mengajari cara menjahit pakain, membuat tahu, penyulingan arak dari beras yang difermentasi dsbnya. Dapat dikatakan orang-orang Tionghoa sebagai pendatang sedikitpun tidak mendapatkan resistensi dari penduduk setempat. Mereka hidup rukun dan damai.

Orang Tionghoa menyebarkan agama Islam di Nusantara.
Pada abad akhir abad ke XIV di masa Dinasti Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam mashab Hanafi terutama di pulau Jawa. Pada permulaan abad ke XV pada masa pemerintahan Kaisar Yung Lo, Laksamana Cheng Ho yang beragama Islamdalam kunjungannya ke negara-negara Asia Tenggara menyaksikan adanya pedagang-pedagang Tionghoa di berbagai pelabuhan. Pada tahun 1407 Laksamana Cheng Ho di Palembang setelah mengusir perompak-perompak dari Hokkian membentuk komunitas Islam pertama di Nusantara. Kemudian disusul dengan pembentukan komunitas Tionghoa Islam di Sambas. Ini membuktikan bahwa sebelum kedatangan armada Laksamana Cheng Ho, di Palembang dan Sambas telah ada orang-orang Tionghoa yang menetap.

Ekspedisi pertama Cheng Ho pada tahun 1405 singgah di pelabuhan Samudra Pasai dan bertemu dengan Sultan Zainal Abidin Bahian Sjah. Kedatangannya di Samudra Pasai dalam rangka membangun hubungan politik dan dagang antara kedua negara. Setelah terbentuk hubungan baik antara Tiongkok dan Samudra Pasai, semakin banyak pedagang-pedagang Tionghoa yang datang ke Pasai dan banyak di antaranya yang beragama Islam dan mengawini perempuan-perempuan setempat kemudian menetap dan berbaur di sana.

Pada tahun 1410 dan 1416 Laksamana Cheng Ho dan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang, selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit ia juga membawa misi untuk menyebarkan agama Islam di pulau Jawa..

Pengiriman armada Dinasti Ming yang dipimpin Laksmana Cheng Ho dan Ma Huan juga bertujuan untuk mengamankan jalur pelayaran niaga di Nanyang (Asia Tenggara) yang banyak diganggu bajak laut orang-orang Hokkian dipimpin Lin Tao-ch’ien yang telah menguasai Pattani, sebuah pelabuhan di selatan Siam (Thailand) dan Kukang (Palembang). Seorang pemimpin bajak laut lainnya yang berasal dari Canton bernama Tan Tjo Gi berhasil menguasai kota Palembang dan dari sana melakukan perompakan terhadap kapal-kapal yang melalui Selat Malaka yang sempit. Hal ini bisa terjadi karena pemerintah Palembang sangat lemah karena berkali-kali mendapatkan serangan dari kerajaan di Jawa, sehingga Palembang berhasil dikuasai gerombolan perompak Tionghoa tersebut beberapa tahun sebelum kedatangan Cheng Ho yang kemudian berhasil menumpasnya. Tan Tjo Gi berhasil ditangkap, dirantai kemudian dibawa ke Peking. Disana ia dipancung dimuka umum sebagai peringatan kepada orang-orang Tionghoa Hokkian di seluruh Nanyang.

Di antara tahun 1405-1433 Kaisar Yung Lo dan penggantinya memerintahkan sampai tujuh kali ekspedisi pelayaran kekaisaran yang spektakuler menuju laut Tiongkok Selatan dan Samudera Hindia. Tujuan ekspedisi itu adalah untuk menjalin persahabatan dan perdagangan dengan negara-negara lain. Di samping itu penduduk sepanjang pantai Tiongkok dilarang merantau ke luar negeri tanpa ijin.Maksudnya agar perompak-perompak Jepang yang sering mengganggu keamanan pantai Tiongkok menjadi terkucil. Di samping itu Kaisar Ming meminta perhatian kepada para perantau Tionghoa di negeri asing, yang terpaksa meninggalkan tempat asalnya karena kemiskinan atau sebab lainnya Mereka diharapkan menjadi penduduk yang baik di negeri tempat mereka menetap. Namun dibalik semuanya itu pelayaran tersebut juga bertujuan menunjukkan kejayaan Dinasti Ming (show of force) dan mengembangkan pengaruh politik dan militernya di negara-negara Asia-Afrika di samping utnuk mengamankan jalur pelayaran niaga Tiongkok dengan menumpas para perompak yang selalu mengganggu kapal-kapal niaga di jalur tersebut.

Pelayaran ini merupakan suatu ekspedisi yang menakjubkan, bahkan bila diukur dengan standar Abad ke XX sekalipun. Tiap armada terdiri dari 62 buah kapal yang disebut bao chuan atau kapal harta, yang paling besar berukuran panjang 132 meter dan lebar 54 meter dan membawa 27.800 orang prajurit dan sejumlah besar emas, porselen,barang-barang tembikar, karya-karya seni yang indah dan kain sutera untuk ditukar dengan gading gajah,cula badak,kulit penyu, bahan obat-obatan,rempah-rempah, sarang burung wallet, mutiara dan batu-batu permata. Di samping kapal penumpang untuk mengangkut pasukan dan kapal kargo, armada ini juga terdiri dari kapal tangki air, kapal pengangkut kuda untuk pasukan kavaleri, kapal-kapal tempur dan kapal patroli cepat yang mempunyai banyak dayung.

Kapal-kapal harta Cheng Ho menimbulkan rasa hormat bercampur rasa takjub, kagum dan takut. Epik pelayarannya memasuki ingatan hampir separuh bangsa di dunia, seabad sebelum era besar eksplorasi dan ekspansi bangsa Eropa. Ini merupakan armada yang unik dalam sejarah Tiongkok dan – juga sejarah dunia-, tidak ada bandingannya sampai invasi kapal-kapal perang dalam Perang Dunia I. Pelayaran ini berlangsung lebih dari 60 tahun sebelum Bartolomeus Diaz dengan armadanya pada 1487 berhasil memutari Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika untuk memasuki Samudra Hindia dan Vasco Da Gama pada tahun 1497 mendarat di India.
Dalam tujuh kali pelayaran penuh kisah kepahlawanan,membelah laut Tiongkok Selatan dan lautan Hindia, dari Taiwan menuju Teluk Persia dan Pantai Timur Afrika. Separuh permukaan bumi berada di cengkraman Tiongkok dan dengan kekuatan angkatan laut yang demikian besar, separuh lainnya dengan mudah dapat dikuasai, kalau saja Tiongkok menginginkannya. Tiongkok dapat menjadi kekuatan kolonial yang sangat besar, 100 tahun sebelum masa penjajahan dan kejayaan bangsa Eropa, tetapi Tiongkok ternyata tidak mau melakukannya.

Walaupun tujuan pelayaran ini hanya untuk mengamankan jalur perdagangan antara Tiongkok dan negara-negara yang telah menjadi mitranya dan menarik upeti dari raja-raja yang telah ditaklukkannya, namun ekspedisi ini telah menjadikan Laksamana Cheng Ho seorang tokoh yang dipuja-puja dan pada tahun 1431 diberi gelar Sam Po Tay Jin atau Sam Po Kong/Sam Po Toa Lang atau Dewa Tiga Pusaka atau Tri Ratna.
Sam Po Kong menjadi legenda tanda kebesaran dan kejayaan Dinasti Ming dan turut mendorong orang-orang Tionghoa terutama para pedagang dari bagian selatan provinsi Hokkian untuk pergi dan menetap di daerah Nanyang.

Tidak lama setelah ekspedisi terakhir armada Cheng Ho,kaisar Tiongkok melarang seluruh pelayaran ke luar negeri dan menghentikan pembangunan serta perbaikan jung-jung yang akan mengarungi lautan. Para pelaut dan pedagang yang membangkang dan melanggar larangan tersebut ditangkap dan dibunuh. Dalam waktu 100 tahun, kebesaran dan kejayaan angkatan laut Tiongkok yang terbesar dan terhebat dimiliki dunia pada masa itu, habis dengan sendirinya dan perompak-perompak Jepang menguasai pantai Tiongkok. Masa kejayaan ekspansi Internasional Tiongkok dengan ironis diikuti oleh masa isolasi yang gelap dan panjang sejarah Tiongkok. Keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi Tiongkok pada masa permulaan Abad ke XV kemudian dengan cepat tertinggal dalam perkembangan sejarah, karena berkembangnya perdagangan internasional dan lahirnya revolusi industri yang mempercepat dunia barat memasuki abad modern. Demikian juga emigrasi orang-orang Tionghoa ke Nanyang termasuk ke Nusantara menyusut dengan cepat.

Untuk menghormati Laksamana Cheng Ho, di Semarang dibangun klenteng Gedong Batu (Sam Po Kong) yang konon asalnya sebuah mesjid. Klenteng ini terasa sangat unik karena diziarahi baik oleh orang Tionghoa maupun oleh orang muslim Jawa. Di Klenteng Sam Po Kong juga terdapat sebuah jangkar kapal yang konon adalah jangkar kapal Cheng Ho. Jangkar ini oleh orang yang mempercayainya disembah dan disembahyangi guna mendapatkan berkat dan rezeki. Di dekat gua di klenteng Sam Po Kong terdapat makam Dampu Awang yang menurut ceritera merupakan juru mudi yang piawai Laksamana Cheng Ho. Makam Dampu Awang ini ramai diziarahi kaum muslim Jawa.Kuncennya pun seorang muslim Jawa.

Klenteng Sam Po Kong inilah yang menjadi salah satu sumber bahan-bahan penelitian mengenai sejarah kota Semarang dan peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam di Jawa banyak ditulis para haji Tionghoa, antara lain Haji Ma Huan yang menulis buku Ying Yai Sheng Lan dan Haji Feh Tsing yang menulis buku Tsing Tsa Sheng Lan pada tahun 1431. Kedua haji ini adalah pembantu Laksamana Cheng Ho yang pandai berbahasa Arab dan bertindak sebagai penerjemah dan mencatat segala sesuatu tentang negara-negara yang dikunjunginya.

Tetapi bukti paling spektakuler adalah dengan dirampasnya tulisan-tulisan Tionghoa yang disimpan di klenteng Sam Po Kong selama 400-500 tahun oleh Residen Poortman. Pada tahun 1928 dengan alasan menumpas komunis dengan dibantu polisi, ia melakukan penggeledahan di klenteng Sam Po Kong dan berhasil merampas 3 gerobak berbagai catatan berbahasa Tionghoa yang menceriterakan peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam dan pembentukan sejumlah kerajaan Islam di Jawa terutama kerajaan Islam pertama di Demak dengan rajanya Raden Pateh alias Jin Bun yang akan merupakan cikal bakal kerajaan Mataram. Inilah yang menjadi tujuan utama Residen Poortman. Namun banyak peneliti yang meragukan hal ini karena ditinjau dari denah dan tata letak ruang-ruang di klenteng Sam Po Kong, sulit dapat dipercaya kalau selama ratusan tahun di tempat tersebut telah disimpan dengan aman dokumen sebanyak itu.

Nah, berangkat dari sinilah dimulai penelitian Prof.Dr.Slamet Muljana mengenai peranan orang-orang Tionghoa dalam menyebarkan agama Islam di Jawa yang ditulisnya dalam buku Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara2 Islam di Nusantara yang kemudian dilarang oleh pemerintah Orde Baru.

Ternyata sebagian besar anggota Walisongo adalah orang-orang Tionghoa antara lain Sunan Ngampel yang nama aslinya Bong Swi Hoo alias Raden Rachmat. Bong Swi Hoo berasal dari Yunnan cucu penguasa tertinggi di Campa, Bong Tak Keng. Bong Tak Keng ditempatkan Laksamana Cheng Ho di Campa untuk memimpin komunitas Tionghoa Islam (Hanafi) yang merupakan komunitas Tionghoa terbesar di pantai-pantai Nanyang.Bong Swi Hoo datang ke Jawa tanpa istri pada tahun 1447 dan menikah dengan Ni Ageng Manila puteri Haji Gan Eng Cu alias Arya Teja, kapten Tionghoa yang berkedudukan di Tuban. Ia kemudian ditempatkan Gan Eng Cu menjadi kapten Tionghoa Islam di Bangil. Gan Eng Cu sebelumnya ditempatkan Bong Tak Keng di Manila dan menikah dengan perempuan setempat dan mempunyai puteri yang diberi nama Ni Ageng Manila. Di samping memindahkan Gan Eng Cu ke Tuban untuk memimpin komunitas Tionghoa Islam yang sedang berkembang di Nanyang Selatan termasuk Jawa,Palembang dan Sambas, Bong Tak Keng juga menempatkan menantunya Ma Hong Fu untuk menjadi duta besar Tiongkok di pusat Kerajaan Majapahit (1424-1449). Namun karena armada Tiongkok (dinasti Ming) menguasai seluruh perairan Nanyang, Haji Gan Eng Cu de fakto yang melayani kraton Majapahit dari pelabuhan Tuban dan ia diberi gelar “A Lu Ya” oleh Su King Ta raja Majapahit yang memerintah dari tahun 1427 sampai tahun 1447.Pada tahun 1430 Laksamana Cheng Ho merebut daerah Tu Ma Pan (Tumapel) di Jawa Timur dan menyerahkannya kepada Raja Su King Ta. Kemudian Gan Eng Wan saudara Gan Eng Cu diangkat menjadi bupati di Tu Ma Pan. Gan Eng Wan (Aria Suganda) adalah bupati Islam pertama di Kerajaan Majapahit.

Pada tahun 1450-1475, karena Tiongkok/dinasti Ming telah menutup diri dan armada perangnya dimusnahkan serta kapal-kapal dagangnya tidak datang lagi mengunjungi komunitas Islam Hanafi di Nanyang, karena orang-orang Tionghoa dilarang pergi dari daratan Tiongkok, maka menyurutlah pengaruh dan pengikut Islam di kalangan orang-orang Tionghoa di pesisir utara Jawa Timur. Mesjid-mesjid Tionghoa banyak yang berubah menjadi klenteng-klenteng Sam Po Kong atau Khonghucu dan Tao.
Untuk mengatasi perkembangan tersebut Bong Swi Hoo terpaksa mengambil inisiatif mengepalai mayarakat Tionghoa Islam Hanafi yang makin mundur di pulau Jawa, Palembang dan Sambas, tanpa ada hubungan dengan daratan Tiongkok. Ia kemudian mengganti bahasa Tionghoa dengan bahasa Jawa dan memperkuat masyarakat Tionghoa Islam Hanafi yang sedang mundur dengan orang-orang Jawa. Inilah proses dimulainya Jawanisasi yang dilakukan oleh penyebar-penyebar agama Islam di Jawa yang sebenarnya orang-orang Tionghoa.

Pada tahun 1451 Campa yang menjadi pusat agama Islam Hanafi di Nanyang direbut oleh orang-orang Buddha, penduduk asli dari pedalaman yaitu Pnom Penh. Menghadapi hal ini Bong Swi Hoo kemudian meninggalkan komunitas Tionghoa Islam di Bangil, di muara sungai Brantas sebelah kiri (kali Porong) dan dengan para pengikutnya orang-orang Jawa yang baru di Islamkannya, ia mendirikan pedepokan di Ngampel, di dekat muara sungai Brantas sebelah kanan (Kali Mas).

Antara tahun 1451-1477 Bong Swi Hoo di Ngampel dengan kepemimpinannya yang sangat kuat, memimpin pembentukan masyarakat Islam Jawa di pesisir Utara pulau Jawa dan di pulau Madura. Selama dia berdiam di Ngampel,masyarakat Tionghoa Islam di Tuban, Palembang dan Sambas tetap tunduk kepadanya, namun mesjid Tionghoa di Bangil, sepeninggalnya berubah menjadi klenteng Sam Po Kong. Bong Swi Hoo kemudian terkenal sebagai Sunan Ngampel, salah seorang Walisongo yang paling berjasa dan berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Jawa.
Bong Swi Hoo mempunyai seorang putera yang bernama Bong Ang (Bonang) yang kelak menjadi Sunan Bonang. Bonang diasuh oleh Sunan Ngampel bersama Giri (Raden Paku), anak Maulana Wali Lanang alias Maulana Iskak yang menikah dengan puteri Blambangan.Giri kelak dikenal sebagai Sunan Giri dan Maulana Wali Lanang atau Sayid Iskak (Maulana Iskak) adalah paman Bong Swi Hoo, anak Bong Tak Keng dari Campa.

Gan Eng Cu juga mempunyai seorang putera yang murtad (bukan Islam) bernama Gan Si Cang yang bersama Kin San alias Raden Kusen anak Swan Liong alias Arya Damar mengembangkan galangan kapal di Semarang yang dibangun Laksamana Cheng Ho. Dengan meniru kapal milik Ja Tik Su (Jafar Sidik gelar Sunan Kudus) orang Ta Cih yang sedang berlabuh di galangan kapal di Semarang karena mengalami kerusakan. Mereka berdua memimpin pembuatan jung-jung besar yang mempunyai kecepatan tinggi. Jung-jung yang diperlengkapi meriam-meriam besar buatan Kin San inilah yang pada tahun 1521 digunakan armada Kesultanan Demak untuk menyerang Portugis di Malaka.

Pada tahun 1481 atas desakan para tukang kayu di galangan kapal di Semarang, Gan Si Tjang selaku kapten Tionghoa menyampaikan permohonan kepada Kin San sebagai Bupati Semarang untuk ikut menyelesaikan pembangunan Mesjid Agung Demak. Permintaan ini diteruskan kepada Jin Bun sebagai penguasa tertinggi di Demak. Jin Bun menyetujuinya dan dengan demikian pembangunan Mesjid Agung Demak diselesaikan oleh para tukang kayu dari galangan kapal di Semarang di bawah pimpinan Gan Si Cang. Saka tatal Mesjid Agung Demak dibuat dengan mempergunakan teknik konstruksi tiang kapal,tersusun dari kepingan-kepingan kayu yang sangat tepat dan rapi. Tiang tatal yang demikian itu lebih kuat menahan angin laut atau taufan dari pada tiang utuh. Ternyata Sunan kali Jaga atau Raden Said adalah Gan Si Cang anak Gan Eng Cu alias Arya Teja, kapten Tionghoa di Tuban, mertua Bong Swi Hoo atau Sunan Ngampel.

Raden Patah yang dikenal sebagai Sultan Demak pertama yang merupakan kesultanan Islam pertama di Jawa sebenarnya adalah Jin Bun anak Kung Ta Bu Mi (Kertabumi) atau Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang menikah dengan puteri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (babah Bantong). Semasa kanak-kanaknya Jin Bun dipelihara oleh Swan Liong (Arya Damar) bersama Kin San (Raden Kusen) di Palembang. Jin Bun meninggal pada tahun 1518 dalam usia 63 tahun.
Kin San adalah ahli pembuat petasan dan mesiu yang dipelajarinya dari ayahnya, Swan Liong yang pernah menjadi kepala pabrik mesiu di Semarang, Setelah Jin Bun berhasil merebut Majapahit pada tahun1478, Kin San diangkat menjadi Bupati Semarang.

Demikian juga Sultan Demak yang kedua, Sultan Yunus (Adipati Unus) adalah Yat Sun putera Jin Bun. Adipati Unus sangat terkenal karena pada tahun 1521 berani menyerang Portugis di kota Malaka yang telah didudukinya sejak tahun 1511, sehingga ia dijuluki Pangeran Sabrang Lor. Adipati Unus hanya memerintah tiga tahun karena meninggal dunia dan digantikan oleh saudaranya Tung Ka Lo alias Pangeran Trenggana yang memerintah selama 40 tahun. Pangeran Trenggana digantikan oleh puteranya Muk Ming yang sebelumnya menggantikan Kin San menjadi Bupati Semarang.

Menurut buku-buku ceritera orang Jawa,Muk Ming membunuh saudara tuanya yang menjadi putera mahkota agar bisa menjadi Sultan Demak. Kemudian Muk Ming digulingkan oleh keponakannya, Arya Panangsang dari Kerajaan Jipang yang membalas kematian ayahnya, sang putera mahkota yang kemudian disebut Panegran Seda Ing Lepen atau “gugur di sungai”. Kecuali mesjid, seluruh kota dan Kraton Demak musnah. Karena tidak kuat menahan serangan pasukan Jipang,prajurit Demak mundur ke Semarang dan terjepit di kapal-kapal yang kemudian berhasil dihancurkan. Demikian juga kota Semarang diporak-porandakan, galangan kapal habis dibakar dan banyak orang-orang Tionghoa non Islam yang dibunuh oleh prajurit Jipang yang membuat sebagian besar masyarakat Tionghoa Semarang marah dan tidak bersimpati kepada pasukan Jipang. Inilah awal dari surutnya para pengikut Islam Tionghoa di daerah Semarang dan di pesisir utara Jawa Tengah. Mereka akhirnya kemudian berangsur-angsur kembali kepada agama dan kepercayaan asalnya Khonghucu dan Tao.

Selanjutnya pasukan Jipang dikalahkan pasukan Pajang yang pada masa pemerintahannya kurang memperhatikan masalah maritim. Kemudian lahirlah Kerajaan Mataram yang berada di pedalaman yang makin menggeser kekuatan politik dari pantai utara jauh ke pedalaman. Dengan demikian berakhirlah riwayat Raja-raja Islam keturunan Tionghoa Yunnan di Demak sejak Jin Bun bersama ketiga ketut\runannya memerintah selama 71 tahun.

Pada tahun 1415 Laksamana Haji Kung Wu Ping mendirikan menara mercu suar di atas bukit Gunung Jati. Dekat situ kemudian dibentuk masyarakat Tionghoa Islam Hanafi si Sembung, Sarindil dan Talang, masing-masing lengkap dengan mesjid. Kampung Sarindil ditugaskan untuk menghasilkan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal. Kampung Talang ditugaskan perawatan pelabuhan dan kampung Sembung untuk perawatan mercu suar. Namun pada masa 1450-1475 seperti di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, masyarakat Islam Tionghoa sangat merosot jumlahnya, karena terputus hubungan dengan daratan Tiongkok. Mesjid di Sarindil sudah berubah menjadi tempat pertapaan, karena masyarakat Tionghoa Islam di sana sudah tidak ada lagi. Mesjid di Talang kemudian berubah menjadi klenteng Sam Po Kong/Khonghucu dan Tao. Sebaliknya masyarakat Tionghoa Islam di Sembung malah berkembang biak dan mereka sangat teguh di dalam agama Islam.

Pada tahun 1526 armada dan tentara Islam Demak di bawah pimpinan Panglima tentara Demak Syarif Hidayat Fatahillah (Faletehan) putera Sultan Demak Tung Ka Lo (Trenggana) singgah di pelabuhan Talang. Ikut dalam rombongan tersebut seorang peranakan Tionghoa Kin San yang pandai berbahasa Tionghoa. Mereka adalah utusan Sultan Demak untuk menemui Haji Tan Eng Hoat, Imam Sembung yang sedang bertapa di Sarindil.Bersama Haji Tan Eng Hoat tentara Islam Demak dengan damai masuk ke Sembung. Kemudian Panglima Perang Demak atas nama Sultan Demak memberi gelar Haji Tan Eng Hoat “Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi” Tentara Demak kemudian kembali ke kapal melajutan pelayarannya ke Barat. Kin San tinggal bersama Haji Tan Eng Hoat sebulan lamanya.

Ketika Fatahillah pada tahun 1552 datang untuk kedua kalinya di Sembung, keadaan dirinya sudah jauh berbeda. Kalau pada pertama kalinya ia datang sebagai Panglima tentara Kesultanan Demak yang gagah perkasa, maka kedatangannya yang kedua kali dalam usia yang mulai senja dan dengan sedikit pengikut. Ketika itu di Kesultanan Demak telah terjadi perselisihan di antara keturunan Jin Bun yang saling berebut kekuasaan dan terjadi banyak pembunuhan di antara sesamanya.
Mendengar hal ini Haji Tan Eng Hoat merasa sedih, apalagi orang-orang Tionghoa Islam mulai terdesak oleh orang-orang Tionghoa non Islam. Kedua hal inilah yang mendorong ia meyakinkan Fatahillah untuk mendirikan Kesultanan Islam di Kesepuhan, Cirebon.

Dengan demikian Kesultanan Cirebon pada tahun 1522 didirikan oleh Haji Tan Eng Hoat alias Mohamad Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat Fatahillah atau Faletehan) yang pernah menjadi Panglima tentara Kesultanan Demak dan mantan Raja Kesultanan Islam Banten dengan didukung oleh orang-orang Tionghoa Islam di Sembung. Sunan Gunung Jati menjadi Sultan pertama Kesultanan Islam Cirebon dengan mendirikan kraton Kesepuhan.

Kemudian pada tahun 1553 Sunan Gunung Jati menikahi puteri Haji Tan Eng Hoat, Ong Tin yang terkenal dengan sebutan Puteri Cina. Upacara iring-iringan mempelai Pueri Cina dari Sembung sampai ke Kraton Kesepuhan berlangsung laksana upacara raja-raja di Tiongkok dengan pengiring sepupunya sendiri bernama Tan Sam Cay alias Muhammad Syafei gelar Tumenggung Arya Dipawiracula. Tan Sam Cay inilah yang kelak menjadi bendahara dan wali dari Sultan ke-2 Kesultanan Cirebon, karena ketika Sunan Gunung Jati meninggal pada tahun 1570, putera dari hasil perkawinannya dengan Puteri Cina yang walaupun masih sangat muda itu diangkat sebagai penggantinya.

Tan Sam Cay besar jasanya membantu Sunan Gunung Jati dan Haji Tan Eng Hoat dalam mengembangkan agama Islam ke Priangan Timur sampai ke Garut. Tetapi di kemudian hari Tan Sam Cay murtad dan kembali ke agama asalnya dan mengubah mesjid Talang menjadi sebuah klenteng agama Khonghucu dan Tao. Orang-orang Tionghoa Islam akhirnya perlahan-lahan menyusut dan kembali menjadi pengikut agama Khonghucu dan Tao.

Setelah Sunan Gunung Jati wafat secara de fakto Tan Sam Cay lah yang menguasai Kesultanan Cirebon. Yang berani melawannya hanya Haji Kung Sem Pak alias Muhammad Marjani, seorang keturunan Haji Kung Wu Ping yang menjadi kuncen makam di Gunung Sembung. Tan Sam Cay ingin meniru Sultan Turki,membangun istana Suniaragi ayng terkenal dengan gua buatan yang dikelilingi danau buatan untuk menyimpan harem yang cantik-cantik.

Ketika Tan Sam Cay meninggal akibat memakan racun di Istana Suniaragi,oleh Haji Kung Sem Pak jenasahnya ditolak untuk dimakamkan di kompleks makam pejabat-pejabat Kesultanan Cirebon di Sembung. Di bawah hujan lebat jenasah Tan Sam Cay dibawa kembali ke Cirebon dan atas permintaan istrinya Nurleila binti Abdullah Nazir Loa Sek Cong dimakamkan secara agama Islam di rumahnya sendiri.

Namun atas permintaan mayrakat Tionghoa non Islam, di klenteng Talang diadakan pula upacara naik arwah untuk mendiang Tan Sam Cay. Namanya ditulis di atas kain merah dan disimpan di klenteng Talang untuk selamanya. Tan Sam Cay dijadikan dewa dengan nama Sam Cay Kong dan dipuja.disembahyangi oleh para peziarah yang percaya guna meminta berkat dan rezeki.

Dari klenteng Talang, Residen Poortman juga merampas seluruh catatan-catatan dalam bahasa Tionghoa yang telah tersimpan selama ratusan tahun yang menceriterakan perkembangan Kesultanan dan penyebaran agama Islam di daerah sekitarnya. Kain merah bertuliskan nama Tan Sam Cay termasuk yang dirampas Poortman dan akhirnya ditempatkan di musium etnologi di Leiden, Belanda.
Sunan Gunung Jati sendiri adalah Toh A Bo (Pangeran Timur) putera Sultan Trenggana (Tung Ka Lo) putera Jin Bun (Raden Patah). Padahl pandangan yang selama ini berkembang di tengah masyarakat dan dalam buku-buku sejarah tentang Sunan Gunung Jati sampai saat ini masih mengacu kepada pendapat Prof.Husain Djajadiningrat dalam bukunya “ Pemandangan Kritis atas Sedjarah Banten “ yang terbit di negeri Belanda pada tahun 1913. dalam buku tersebut ia menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah Faletehan, seorang ulama dari Pasai. Ketika Pasai diserbu Portugis dari Malaka, ia meninggalkan Pasai menuju Mekkah dan bermukim di sana selama hampir tiga tahun untuk memperdalam soal-soal agama Islam. Ia kemudian kembali ke Pasai untuk mengajar agama Islam.Karena dikuasai Portugis, Faletehan meninggalkan Pasai dan menetap di Demak. Di Demak ia disayang oleh Sultan Trenggana dan dikawinkan dengan adiknya. Oleh Sultan Demak ia kemudian ditugaskan untuk mengislamkan pesisir utara pulau Jawa. Mula-mula ia merebut Banten dilanjutkan dengan serangannya ke Sunda Kelapa yang baru saja melakukan perjanjian perdagangan dengan Portugis. Dalam pertempuran tersebut Raja Pajajaran tewas dan Banten kemudian diserahkan kepada putera Faletehan, Hasanuddin, Sultan Banten pertama dan Sunda Kelapa dijadikan daerah Banten dengan nama Jayakarta.

Namun pendapat tersebut dibantah oleh Sultan Sepuh dari Istana Kesepuhan Cirebon, yaitu Sultan Radja Radjadingrat yang merupakan keturunan langsung Sunan Gunung Jati. Ia menyatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti otentik yang dimilikinya, Sunan Gunung Jati sama sekali bukan Faletehan,melainkan seorang keturunan Pajajaran. Adapun akhirnya Sunan Gunung Jati diidentikkan dengan Faletehan karena bertepatan dengan wafatnya Sunan Gunung Jati, meninggal pula seorang ulama yang bertugas sebagai tukang azan Kasunanan dan karena ia juga terkenal sebagai ulama yang sahih, maka tukang axan yang bernama Fathullah Khan yang berasal dari Parsi tersebut diputuskan dimakamkan di Gunung Sembung, tidak jauh dari makam Sunan Gunung Jati.

Demikianlah peranan orang-orang Tionghoa dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa ternyata cukup dominan. Namun hal ini sampai runtuhnya rejim Orde Baru merupakan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Laporan Residen Poortman mengenai penemuannya di klenteng Gedong Batu, Semarang dan klenteng Talang di Cirebon oleh pemerintah kolonial Belanda tetap dirahasiakan. Demikian juga buku Tuanku Rao karangan Mangaradja Onggang Parlindungan ketika terbit pada tahun 1964 dilarang oleh pemerintahan Soekarno. Nasib buku karangan Prof.Dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara2 Islam di Nusantara ketika terbit pada tahun 1968 langsung dilarang oleh pemerintahan Jenderal Soeharto. Mereka semuanya takut kalau kebenaran sejarah ini tersiar dapat menggoncang stabilitas negara.

Selama ini sumber sejarah yang diambil melulu dari legenda atau ceritera-ceritera yang turun-temurun, atau diambil dari Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Juga dari catatan-catatan Tome’Pires, orang Portugis. Sudah tentu Tome’Pires hanya akan menemui para pemimpin di Jawa orang-orang Tionghoa yang telah mengubah namanya menjadi nama Jawa atau Islam, seperti juga ceritera dan legenda Tanah Jawi.

Catatan dari sumber Tionghoa sama sekali diabaikan atau dikesampingkan dan tidak pernah dijadikan bahan acuan. Padahal menurut Prof. Liang Liji, ahli sejarah dan bahasa dari Universitas Beijing dalam ceramah yang diselenggarakan Perhimpunan INTI di Omni Batavia hotel tanggal 15 Desember 1999, berbagai catatan atau naskah Tionghoa itu sangat akurat dan rapi, baik dalam mencatat tahun-tahun kejadian maupun nama-nama dan kejadian-kejadian yang diceriterakan.

Pengaruh dan surutnya Tionghoa – Islam.
Adalah kenyataan sejarah bahwa orang-orang Tionghoa dari Yunnan pada abad ke–14 dan abad ke-15 datang ke Nusantara terutama ke Sambas, Palembang dan Jawa untuk menyebarkan agama Islam mashab Hanafi yang kemudian surut digantikan dengan mashab lainnya. Pada awalnya mereka hanya menyebarkan agama Islam di komunitas Tionghoa yang pada umumnya tinggal di pesisir sambil melakukan perdagangan. Sudah tentu kedatangannya membawa pengaruh dan perubahan yang besar dalam kehidupan politik dan tata kehidupan masyarakat pada masa itu, dimana pengaruh agama Hindu dengan representasi Kerajaan Majapahit sangat dominan. Tokoh besarnya adalah Laksamana Cheng Ho yang dengan armadanya yang mengagumkan memberi pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Nusa Tenggara.

Banyak orang-orang Muslim Tionghoa Jawa Timur di bawah pimpinan Bong Swi Hoo atau Sunan Ngampel yang menjadi penasihat dan bupati di Majapahit. Mereka kemudian mendorong Raden Patah alias Jin Bun untuk mendirikan Kesultanan Islam pertama di Demak.

Sebagian dari Walisongo yaitu, Sunan Ngampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati diidentifikasikan sebagai orang-orang Muslim Tionghoa yang sangat besar jasanya dalam menyebarkan agama Islam di pesisir utara Jawa, dari Banten sampai Madura.

Kalau kita mengunjungi mesjid-mesjid Walisongo di pantura Jawa seperti Mesjid Agung Demak (Masjid Glagah Wangi) atau makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, maka akan tampak sekali pengaruh kebudayaan Tionghoa. Di tembok-tembok mesjid banyak ditempelkan piring porselin Tiongkok dari zaman Dinasti Ming, demikian juga banyak terdapat guci-guci antik yang tak ternilai harganya. Di Mesjid Glagah Wangi Demak terdapat ornamen kura-kura yang digunakan untuk menunjukkan tahun mulai dibangunnya mesjid tersebut, yaitu tahun 1401 Caka atau 1479 Masehi. Penggunaan kura-kura yang termasuk binatang yang banyak terdapat dalam mitologi Tionghoa, tidak umum dalam kebudayaan Islam,Hindu maupun Buddha.

Demikian juga kalau kita mengunjungi mesjid-mesjid di negara-negara Timur Tengah, termasuk di Saudi Arabia, kita tidak akan menemukan bedug untuk pertanda azan lima waktu. Selanjutnya kita juga tidak akan menemukan model pesantren seperti yang terdapat di Jawa,karena kedua hal tersebut sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa.

Arsitektur mesjid-mesjid di Jawa juga sangat dipengaruhi kebudayaan Tionghoa yang bergaya pagoda dan atap bertingkat. Contohnya masih dapat kita saksikan yaitu Mesjid Agung Banten, yang dibangun pada sekitar tahun 1620 oleh arsitek Tionghoa Cek Ban Cut dengan menaranya yang seperti pagoda.

Tradisi atau kebiasaan membakar petasan atau mercon pada masa bulan Ramadhan dan menyambut Hari Raya Idul Fitri atau pada upacara-upacara perkawinan, khitanan dsbnya yang dilakukan umat Islam di pedesaan pulau Jawa, jelas merupakan tradisi yang dipengaruhi tradisi Tionghoa yang membawa kebiasaan ini dari daratan Tiongkok, tempat asal petasan tersebut.

Pada masa kekuasaan VOC dan pemerintahan Hindia Belanda, orang Tionghoa banyak yang masuk menjadi Islam kembali.Alasan utamanya adalah untuk menghindari pajak kepala atau pajak konde/kuncir yang dikenakan kepada orang-orang Tionghoa. Kalau mereka masuk Islam, maka mereka akan terhindar dari pajak tersebut. Demikian juga setelah terjadi insiden pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, orang Tionghoa banyak yang masuk menjadi Islam demi menjamin keamanannya. Ketika terjadi Perang Jawa atau Perang Diponegoro, orang-orang Tionghoa yang mendukung Pangeran Diponegoro juga banyak yang menjadi prajuritnya dan masuk Islam.

Orang-orang Tionghoa ini tetap bermukim di perantauan sampai beberapa keturunan tanpa pernah kembali ke negeri asalnya. Mereka membaurkan diri baik dalam soal bahasa,makanan, pakaian maupun agama. Mereka masuk menjadi Islam dan menolak makan babi dan mengadaptasi seluruh adat-istiadat penduduk asli. Karena jumlah mereka makin banyak, maka VOC memisahkan mereka dari masyarakat Tionghoa yang bukan Muslim dan menyerahkan pengurusan dan pengawasan mereka kepada seorang kapiten Tionghoa yang diangkat dari kalangan mereka sendiri. Tetapi jabatan mayor atau kapiten dalam masyarakat Muslim Tionghoa di Batavia dihapuskan pada tahun 1827

Selanjutnya setelah ekspedisi armada Laksmana Cheng Ho yang ketujuh, yang merupakan ekspedisi terakhirnya, Kaisar Dinasti Ming telah memerintahkan untuk menghentikan semua pelayaran ke luar negeri dan akan menghukum mati siapapun yang berani melanggarnya. Tiongkok menutup diri dari dunia luar sehingga untuk beberapa ratus tahun lamanya, masyarakat Tionghoa di Nusantara kehilangan kontak dengan daratan Tiongkok. Sudah tentu hal ini mempengaruhi perkembangan komunitas Muslim

Tionghoa di Jawa dan tempat-tempat lainnya di Nusantara. Menghadapi situasi ini Bong Swi Hoo memindahkan pedepokannya ke Ngampel dan mengubah strategi dengan merekrut sebanyak mungkin orang-orang Jawa untuk diislamkan dan dijadikan pengikutnya. Kejadian inilah yang mulai menyebabkan berkurangnya orang-orang Muslim Tionghoa di Jawa Timur.

Hal yang sama terjadi dengan orang-orang Muslim Tionghoa di pesisir utara Jawa Tengah, yang kebanyakan meninggalkan agama Islam untuk kembali menganut agama Khonghucu dan Tao setelah serbuan pasukan Jipang yang telah menghancurkan kota Semarang dan membunuhi banyak orang Tionghoa yang tidak bersalah. Orang-orang Muslim Tionghoa di Jawa Tengah juga banyak yang meninggalkan Islam setelah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Ngawi yang dilakukan pasukan di bawah pimpinan Raden Ayu Yudakusuma, puteri Sultan Yogyakarta yang pertama pada awal Perang Jawa.

Sebenarnya sebelum kedatangan Belanda hubungan orang-orang Tionghoa dengan penduduk dan penguasa setempat tidak pernah bermasalah,malahan mereka banyak yang dijadikan penasihat di dalam kraton-kraton Jawa.Banyak dari mereka yang dijadikan penjabat resmi dan diberi gelar bangsawan.

Penguasa Belandalah yang menjalankan politik segregasi dan berusaha memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat. Kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda selalu memojokkan orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa hanya diperalat untuk kepentingan politik dan ekonomi pemerintah kolonial Belanda. Orang-orang Tionghoa harus diisolir dengan wijkenstelsel dan passenstelsel. Artinya orang Tionghoa harus tinggal di tempat tertentu (Pecinan) dan apabila ingin bepergian harus meminta surat ijin atau pass dari penguasa setempat. Orang Tionghoa juga dilarang memakai pakain orang Jawa atau penduduk pribumi lainnya agar tidak dapat membaur dengan mereka dan menimbulkan kekacauan. Orang Tionghoa juga dilarang memakai pakaian Eropa, artinya orang Tionghoa hanya boleh memakai baju thungsha dan celanan komprang serta rambutnya memakai taucang alias kuncir. Bagi yang melanggar akan kena denda atau hukuman yang berat.

Pada dekade kedua abad ke-20 dengan berdirinya Tionghoa Shang Hwee (Perkumpulan Pedagang Tionghoa) dan Sarikat Dagang Indonesia yang kemudian berubah menjadi Sarikat Islam, terjadi beberapa kali benturan akibat persaingan dalam perdagangan antara pedagang Tionghoa dan Pedagang Islam yang umumnya keturunan Arab, antara lain kerusuhan di Kudus pada tahun 1918 yang berawal dari persaingan di antara pengusaha rokok kretek. Demikian juga di Solo, toko Sie Dhian Ho diserbu oleh para pedagang batik pribumi di pasar Lawean yang merasa tersaingi,.
Kemudian pada masa dijalankannya politik etis oleh pemerintah Hindia Belanda setelah Tanam Paksa mendapatkan banyak kecaman di Belanda dan dimulainya liberalisasi dan dibukanya perkebunan-perkebunan dan tambang-tambang yang memerlukan banyak tenaga kerja, terjadilah arus migrasi orang-orang Tionghoa dari daratan Tiongkok terutama dari provinsi-provinsi Hokkian dan Kwangtung. Hal ini dapat terjadi karena Kaisar Dinasti Ching telah mencabut larangan bagi orang-orang Tionghoa untuk bepergian keluar negeri, termasuk perempuan-perempuannya. Sudah tentu kejadian ini menyebabkan terjadinya perubahan besar pada masyarakat Tionghoa di Nusantara yang selama ratusan tahun putus kontak dengan daratan Tiongkok. Hal inilah yang menyebabkan semakin surutnya jumlah Muslim Tionghoa di Indonesia sampai berdirinya rejim Orde Baru yang mendorong terjadinya asimilasi di masyarakat Tionghoa. Di masa Orde Baru karena adanya berbagai larangan bagi orang Tionghoa dalam menjalankan ibadahnya banyak orang Tionghoa yang tertarik untuk menjadi Muslim yang menurut pandangannya dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.


http://kotabangil.wordpress.com/2009/08/03/panggung-sejarah/#more-107

0 Comments:

Post a Comment